Cerpen Koran Tempo, 1 Juli 2012 – oleh Dias Novita Wuri
YANG satu ini cukup tampan juga, pikir
Julie seraya menyingkirkan sejumput rambut dari dahinya. Sangat muda, dan sangat kaya. Ia mengulurkan tangan untuk menyentuh
pipi pria itu—anak laki-laki itu—yang meneteskan keringat dan terengah-engah di
atasnya nyaris tanpa suara.
Pipinya halus sekali, tanpa jerawat yang biasanya dimiliki anak-anak laki-laki sebayanya. Hembusan napasnya begitu lembut, begitu tanpa jejak, tapi terasa deras dan panas di kulit wajah Julie. Siapa tadi namanya? Oh ya, Etienne. Berapa umurnya? Apa yang dipikirkannya sekarang? Dalam beberapa tarikan napas lagi, ia roboh di tubuh Julie. Ia mendesah lalu diam.
Pipinya halus sekali, tanpa jerawat yang biasanya dimiliki anak-anak laki-laki sebayanya. Hembusan napasnya begitu lembut, begitu tanpa jejak, tapi terasa deras dan panas di kulit wajah Julie. Siapa tadi namanya? Oh ya, Etienne. Berapa umurnya? Apa yang dipikirkannya sekarang? Dalam beberapa tarikan napas lagi, ia roboh di tubuh Julie. Ia mendesah lalu diam.
“Terima
kasih,”bisiknya.
Mereka
berada di kamar anak itu. Julie menyadari betapa jarangnya ia menginjakkan kaki
di sisi Paris yang ini, di rumah seperti ini. Di kamar seperti ini. Luasnya
membingungkan, dan semua perabotnya tampak benar-benar mahal dan berkelas.
Julie sedang berbaring di tumpukan kashmir. Orang macam apa yang menggunakan
kashmir sebagai seprai tempat tidur?
“Sama-sama,”
balas Julie. Anak itu, Etienne, masih berada di dalam tubuh Julie, dan selama
beberapa saat yang menggetarkan. hidung mereka bersentuhan. Seperti sebuah
prelude. Julie menyingkirkan rambut-rambut lurus coklat kehitaman dari dahi
Etienne.
“Kalau
kau mau, kita masih bisa beberapa kali lagi,” katanya kepada anak itu, tapi
Etienne berguling dan ia sudah berada di samping Julie, berbaring tanpa pakaian
sembari menatap langit-langit kamarnya serta lampu gantung yang tidak
dinyalakan.
“Tdak,
rasanya tidak. Aku harus berangkat sekolah pagi-pagi besok.”
“Di
musim panas?”
“Aku
mengambil kelas tambahan di musim panas supaya kreditku cepat habis.”
“Oh,
terserah kau saja,” ujar Julie.
“Jadi.
berapa?”
“Seratus
euro.”
“Baiklah.”
Etienne
telah bangkit berdiri dan berjalan menghampiri meja belajarnya yang penuh
buku-buku teks berbahasa Latin. Sementara itu Julie melarikan jarinya pada
bekas berbaring Etienne di ranjang: pulau kelembapan dan lekukan hangat.
“Tidak
pernah ada yang berterima kasih padaku sebelumnya.” Julie berkata tanpa tedeng
aling-aling. “Maksudku untuk ini.”
Etienne
memberikan upah Julie. “Mengapa?”
“Ah,
kau tahulah.Tunggu, ini dua ratus euro. Upahku seratus, aku tadi sudah bilang.”
“Aku
ingin memberi dua ratus.”
Julie
tidak mengatakan apa-apa, hanya memasukkan lembar-lembaran uang yang masih baru
dan wangi itu ke dalam tas tangan lusuhnya. Kemudian ia berbanng lagi karena
masih merasa lelah. Anak laki-laki ini masih sangat muda, dan ia menghabiskan
tenaga Julie.
“Ini
bukan pengalaman pertamamu?” ia bertanya pada Etienne. Anak laki-laki itu
sedang meletakkan kembali dompetnya di atas meja. “Tidak juga.”
“Maksudku
dengan orang sepertiku.”
Etienne
duduk di samping Julie, mengenakan celana dan kaus polos longgarnya dalam
gerakan paling praktis sepanjang masa.”Anda yang pertama.” Julie terkejut oleh
kesopanan Etienne yang salah arah.
“Tidak
pernah ada yang berbicara begitu padaku. Pakai ‘Anda’ dan sebagainya.”
Etienne
mengangkat sebelah alis. “Mengapa?” Julie langsung membatin, tampaknya anak ini
lahir dan tumbuh besar di planet lain. Ia baru saja akan berkomentar ketika
Etienne menambahkan. “Mengapa memangnya kalau aku ingin memperlakukan Anda
dengan sopan?”
Tapi
Julie berjengit, seakan kata-kata sopan itu menyakitinya. “Yang biasa saja,
tolong. Jangan pakai ‘Anda’ dan sebagainya itu. Aku akan tersinggung kalau kau
terus menvebutku ‘Anda’.”
Dulu
sekali, adik laki-laki Julie pernah berkata kepadanya, “Kau sadar kau ini apa,
kan?” Itu sudah bertahun-tahun yang lalu, ketika usia Julie masih enam belas
tahun dan sudah mulai menjajakan diri di pinggir jalan-jalan remang. Setahun
berikutnya, adik Julie kabur dari rumah dan tak pernah kembali pulang.
“Maaf.”
kata Etienne. Entah karena alasan apa. Ia menatap Julie lekat-lekat, lama
sekali, dengan seleret nuansa hijau kebiruan, biru kehijauan di matanya.
“Sewaktu aku kecil ibuku sering membawa orang-orang sepertimu ke rumah. Pria-pria
panggilan yang ditemukan ibuku di hotel-hotel,”
“Benarkah?”
Etienne
mengangkat bahu. “Suatu hari aku ada di perpustakaan, sedang membaca tentang
Louis XIV, dan mereka masuk dengan berisik. Aku terpaksa bersembunyi di balik
rak. Mereka tidak menyadari keberadaanku sama sekali. Mereka berciuman, pria
itu melepas pakaian Maman satu per
satu. Aku melihat mereka telanjang. Mereka melakukan hal itu depan mataku.”
Ia
terdiam cukup lama bagi Julie untuk beringsut ke lantai. mengumpulkan
pakaiannya dan mengenakannya dalam sekejap. Berpakaian dengan cepat memang
sudah menjadi keahliannya. “Setiap akhir pekan Maman membawa pria yang berbeda” lanjut Etienne dengan suaranya yang
kosong. “Semuanya jauh lebih muda daripada Maman.”
Mereka
sekarang berbaring berdampingan di tempat tidur yang lebar itu. Etienne melipat
kedua lengannya dan menyelipkannya ke belakang kepala, otot-ototnya yang belum
matang tampak menonjol. “Berapa umurmu?” Julie bertanya.
“Mungkin
aku cukup muda untuk menjadi anakmu.” Etienne berkata apa adanya.
“Wah.
aku belum setua itu. Usiaku baru tiga puluh empat.”
“Aku
tetap cukup muda untuk menjadi anakmu.” Anak laki-laki itu tersenyum. “Tujuh
belas.”
“Oh.
Ayahmu di mana?”
“Mati.
Orang tuamu?”
“Mati.”
Julie menggeliat, menyangga tubuhnya dengan sikunya. Kashmir itu terasa
berdesir. “Maman juga pelacur. Ia
mati waktu aku masih kecil. Sedangkan ayahku, yah, aku tidak pernah
mengenalnya. Maman sendiri tidak tahu
yang mana ayahku. Terlalu banyak pria.”
“Aku
juga tidak pernah mengenal Papa, sepanjang hidupku ia cuma berupa batu nisan
dan foto di dinding. Nenekku bilang Maman
yang membunuhnya dengan bertingkah seperti perempuan jalang sehingga Papa cepat
mati. Lalu aku lahir, dan kelakuannya tidak berubah. Hei, apakah kau sendiri
punya anak?”
Julie
menghela napas. “Aku pernah hamil dua kali, semuanya kugugurkan.”
“Kaugugurkan?”
Alis Etienne menunjukkan kekagetan, tapi di luar itu ekspresinya tidak terlalu
dapat dipahami. Yang jelas, ia tidak memahami Julie.
“Aku
belum ditakdirkan punya anak, aku tidak akan mampu mendidiknya. Lagi pula
mereka akan malu karena punya ibu sepertiku. Bagaimana menurutmu?”
Apakah
itu yang ada di wajah Etienne? Bukan rasa jijik. Dan ia tidak sedang menghakimi
Julie. “Entahlah. Kurasa mereka baru akan malu kalau punya ibu seperti ibuku.”
Setelah mengatakannya, sedikit kemarahan yang bercampur lebih banyak kesedihan
menyeruak keluar dan menyelubungi seluruh sosoknya. Dapat diraba, tidak mau
pergi. ”Mungkin seharusnya Maman
menggugurkan aku.”
“Kau
tidak boleh berkata begitu.”
Etienne
tidak menyahut. Ia malah berkata, “Sesakit apa rasanya?” Ia sudah hendak membuka
mulut lagi sebelum berubah pikiran. “Kurasa itu bukan urusanku.” Ia tampak
seperti anak yang habis dimarahi.
“Sudahlah.
tidak apa-apa. Semua orang yang kukenal melakukannya. orang-orang sepertiku
setidaknya. Hidup kami akan kacau kalau kami membiarkan anak-anak itu lahir.
Mengertilah, kami tidak memiliki pedamping dan tidak memiliki tempat di
masyarakat.Tempat kami ya di sana.” Julie menunjuk pangkal paha Etienne.
“Di
mana tanya Etienne birigung.
“Di
celana dalammu.” Kini Julie mencoba tertawa. “Itu cuma gurauan, kau tahu.”
“Bisakah,
eh, bisakah kau hamil gara-gara aku?”
“Tidak,
tadi kan kita menggunakan karet pelindung, Etienne sayang.”
Mimik
wajah Etienne menjadi aneh. “Baguslah. Aku hanya tidak mau kau hamil dan
menggugurkannya lagi.”
“Tidak.
kau tidak perlu cemas.” kata Julie segera. Ia tersenyum untuk menenangkan
Etienne.
“Apa
kita akan bertemu lagi?”
Julie
sudah hampir men jawab, Jika kau menginginkannya,
namun ia sadar itu bukan jawaban yang tepat. Etienne bukan ladang uang yang
bisa dikeruknya; bukan orang yang selalu bisa membuat Julie memperoleh dua
ratus euro tanpa ia harus bekerja dua malam melayani laki-laki.
“Dengar,
kau anak yang baik. Jadi jangan merusak dirimu. Sebelum terlambat.”
Sekali
lagi Etienne tidak menyahut. Alih-alih, ia mendadak duduk tegak. “Ayo kuantar
kau pulang.”
“Oh,
aku bisa pulang sendiri.”
“Aku
akan mengantarmu pulang, terserah kau
mau bilang apa.”
“Baiklah.”
JADI
mereka naik mobil Etienne, sebuah Mercedes sport baru berwarna merah yang
atapnya bisa dilipat-buka kalau cuaca cerah. “Di tempatku, mobil yang paling
mewah adalah Renault tahun ‘84” kata Julie.
Hari
sudah menginjak tengah malam selepas pukul dua.
Kau
tentunya punya supir yang bisa mengantarmu ke mana-mana.”
“‘Ya,
tapi tidak di jam-jam ini.” kata Etienne disertai cengiran.
Mereka
melewati L’Arc de Triomphe dan Champs-Elysées, menyusuri deret demi deret took-toko
mahal gemerlapan di rue de la Paix, menyeberangi sungai Seine dengan segenap
keagungan Eiffel sebagai latar belakang, berputar-putar hanya karena Etienne
ingin berputar-putar.
Mereka
diam membisu, tapi Julie belum pernah merasa sebahagia dan senyaman ini.
Beberapa pria kaya yang pernah memakainya sangat senang bicara dan membual.
Mereka orang tua yang sudah beristri dan memiliki anak yang juga sudah
beristri. Pria-pria tua ini membicarakan politik dan sastra dan sejarah dengan
nada yang sungguh menyebalkan, sebab mereka tahu Julie tidak pernah bersekolah
dan tidak akan paham hal-hal semacam itu. Mereka ingin Julie mengagumi mereka
meskipun kenyataannya jauh dari itu.
“Di
mana tepatnya kau tinggal?”
Julie
menyahut, “Turunkan saja aku di tempat kau mengambilku tadi.”
“Ini
sudah malam. Kau tidak takut?”
“Menurutmu?
Tentu saja tidak.”
Etienne
mengamati Julie dari atas ke bawah lalu dari bawah ke atas. Julie mengenakan
riasan yang berat pada kelopak mata, celana lateks murah yang sangat ketat,
kaus tanpa lengan, dan sepatu bot hitam berhak tinggi — kostum bulan Juli-nya: “Tapi
nanti kau bisa diperkosa.”
Julie
sampai kehabisan kata-kata. Anak ini memang teka-teki. “Baiklah. Antarkan aku
sampai ke Rue Petite. Di ujung jalan itu ada apartemen tiga tingkat. itulah
rumahku.”
“Kau
tinggal sendiri?”
“Ya.Tadinya
bersama adikku, tapi ia minggat entah ke mana.” Tanyai aku soal rasa sepi, pikir Julie. Rasa sepi dan dirinya
adalah sepasang kekasih. Rasa sepi menyertainya hingga detik terakhir ia
bersama anak laki-laki itu, tapi rasa sepi yang lebih baik.
Saat
ia ditinggal sendiri di tepi jalan yang kumuh dan tidak seperti Paris tapi
memang Paris, rasa sepi mendiami hati Julie dan menyertainya. menyertainya
dalam keabadian. Ia duduk menyilangkan kaki di sebuah bangku kayu bobrok di
dekatnya, membiarkan cahaya bulan sabit membelainya. Ia memikirkan Etienne.
Anak laki-laki itu masih seorang anak, tubuh pucatnya masih belum terbentuk
sebagaimana mestinya. Bibirnya tidak tipis dan tidak tebal, memeluk bibir
Julie. Hidung yang sangat tajam dan lurus, halus.
JULIE
tidak ingin pulang. Di saat begini, ia biasa mengunjungi kawannya. Jean, di
bar, dan membicarakan kehidupan hingga pagi menjelang.
Maka
pergilah ia ke bar itu dengan berjalan kaki satu kilometer ke arah utara. Bar
itu sudah hampir tutup: Jean sudah mengelap gelas-gelas birnya satu per satu
dengan penuh pengabdian, perutnya yang buncit tersembunyi di balik kemeja biru
yang bernoda makanan serta kopi. Di hadapannya, bertengger pada kursi bar yang
tinggi, duduk seorang wanita berpakaian minim. Bila ‘duduk’ istilah yang kurang
tepat. agaknya ‘tersungkur’ sedikit lebih tepat. Rambut pirang pucat wanita itu
berserakan menutupi wajahnya, tersebar di meja bar bagai berkas sinar mentari.
“Semua
pelacurku sudah pulang,” Jean memberitahu tanpa mendongak dari gelasnya. “Apa
kabarmu, chérie?”
“Aku
baru saja dari tempat anak bernama Etienne. Umurnya baru tujuh belas tahun.”
“Wah,
itu rekor untukmu. Bir?”
“Tonik
saja. Jean, siapa wanita ini?”
“Mana
kutahu. Ia datang begitu saja dan mabuk-mabukan. Bagaimana Etienne-mu?”
Julie
menduduki kursi kosong di samping wanita itu. Disentuhnya bahu si wanita yang
terbuka dan memamerkan paparan benua berupa bintik-bintik matahari. “Etienne
membayarku dua ratus euro. Jean, kita harus membangunkannya.”
“Jangan.
biarkan saja. Ia sangat sedih. Ini tonikmu, chérie.”
“Terima
kasih.” Julie menghirup toniknya sambil berpikir-pikir. “Wanita ini mirip
lukisan Marie Magdalene yang kulihat di Louvre waktu kecil.”
Jean
tertawa. “Kau yakin ada Marie di Louvre? Tidakkah itu di d’Orsay?”
“Kau
bercanda.”
“Memang.”
Kedua
tangan Julie mendekap gelas toniknya bagai awan yang mendekap langit. “Entah.
Setelah kuingat lagi, barangkali aku melihat di gereja. Jean, bisakah seseorang
bernasib seperti Marie Magdalene?”
“Aku
tidak beragama, chérie.”
“Tapi
kau mengenalnya, Jean. Semua orang mengenal Marie. Aku ingin seperti Marie.”
“Maksudmu,
kau ingin bertemu Yesus.”
“Tidak.
Hanya ingin dosa-dosaku diampuni.”
“Menjadi
pelacur bukan dosa.”
“Kaupikir
begitu?”
“Bukan
dosa karena kau tak punya pilihan lain.”
Tapi aku membunuh anak-anakku, dosaku sangat
besar. Julie menyentuh rambutnya dan membayangkan benda itu digunakan untuk
membasuh kaki seorang pria yang basah oleh air matanya. Aku hanya seseorang yang menjual tubuhku untuk disentuh orang lain,
untuk dikecap dan dinikmati. Aku begini demi uang. Bagaimana jika semua
perempuan seperti Julie menjadi Marie Magdalene? Perlu berapa banyak Yesus?
Ketika
Julie membalik tubuh wanita di sebelahnya, wajah wanita itu basah oleh air
mata. Ia gemetar sedikit, lalu kembali mengeluarkan dengkur pelan.
“Anak
itu memanggilku ‘Anda’. Etienne.”
Jean
tersenyum memamerkan deretan gigi-giginya yang diputihkan pada Julie. “Nah. Itu
bagus, n’est-ce pas?” Julie terpana
melihat betapa putihnya gigi-gigi Jean yang seperti deretan mutiara. “Ia menghormatimu.”
“Ia
menghormatiku,” ulang Julie.
“Dan
itu bagus.”
“Mengapa
ia pikir aku pantas dihormati?”
“Chérie, mengapa kaupikir kau tidak
pantas dihormati?”
Pada
saat itu Julie mulai berpikir bahwa ia tidak rngin menjadi Marie Magdalene.
“Kira-kira apa yang terjadi pada wanita ini?” tanyanya. Jean membungkuk untuk
membersihkan pintu-pintu rak berisi minuman kerasnya.
“Ia
mengatakan sesuatu tentang suami. Mungkin suaminya selingkuh atau apa. Atau
mungkin ia selingkuhan suami seseorang. Biarkanlah, ia sangat sedih.”
Ia
sangat sedih. Entah kenapa, tiba-tiba ada air mata di pipi Julie. Ia
merangkulkan sebelah lengannya ke bahu wanita yang tertidur di meja bar itu,
yang sama sekali tidak mengenalnya dan tidak dikenalnya, yang bahkan belum
pernah berbicara dengannya. Bahunya berupa tulang. Hangat dan kering dan bisa
dipatahkan oleh kesedihan yang berdesir dari hati.
“Cherie, oh Julie, ada apa?” tanya Jean
dengan lembut seperti seorang ayah yang selalu Julie dambakan tanpa disadarinya,
dan Julie berkata, “Tidak ada. Hanya saja, sudah lama sekali rasanya aku tidak
menangis.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar