Cerpen Sumatera Ekspres, 1 Juli 2012 – oleh Dodi Mawardi
MIKROLET
itu dipepet motor polisi. “Baru keluar Pak!” kata sopir mikrolet. Polisi itu,
Suryo, terlihat di papan nama yang menempel di dada, tidak menyahut.
Tampangnya
seram dengan kumis tebal dan kacamata hitam. Tangannya memberi tanda agar
mikrolet menepi.
Dia lalu menghentikan motornya dan menghampiri mikrolet. Tak ada sepatah katapun keluar dari mulut Suryo. Mereka seperti sudah kenal lama. Begitu Suryo mendekat, sopir itu memberikan surat kendaraannya. Suryo pun ngeloyor begitu saja.
Dia lalu menghentikan motornya dan menghampiri mikrolet. Tak ada sepatah katapun keluar dari mulut Suryo. Mereka seperti sudah kenal lama. Begitu Suryo mendekat, sopir itu memberikan surat kendaraannya. Suryo pun ngeloyor begitu saja.
”Dia
memang rakus,” kata Sofyan kepada penumpang yang duduk di sebelahnya, sambil
menginjak gas meninggalkan Suryo dan motornya. ”Emangnya sering Pir, polisi itu
nilang?” tanya penumpang itu. ”Waaaah, dia sih tiap hari pasti dapet korban.
Padahal dia tuh, udah kaya lho. Punya taksi dua, dan apalagi tuh... pokoknya
kaya lah,” sembur Sofyan.
Wajar
Sofyan kesal dengan ulah si polisi itu. Hampir setiap dua hari sekali, dia kena
tilang, oleh polisi yang sama. Tapi Sofyan masih bisa tertawa.
”Supri,
elu kena sama preman jalan nggak?” tanya Sofyan kepada rekannya sesama sopir
mikrolet yang sedang ngetem. Di kalangan supir mikrolet polisi penilang memang
sama saja dengan preman jalan. ”Nggak. Elu kenal?” Supri balik bertanya.
Sofyan
hanya tersenyum. Lalu, mikroletnya dipacu tinggi. Sementara para penumpang
sedang sibuk dengan pikiran masing-masing.
***
Suryo
bertugas sebagai polisi sejak 18 tahun lalu. Kini pangkatnya sudah sersan
mayor. Dia harus merangkak dari bawah untuk meraih pangkat itu. Suryo pernah
bertugas di Timor Timur, Aceh dan Irian Jaya. Pengalaman tugasnya itu membuat watak
Suryo semakin keras. Tak jarang dia memukuli tahanan yang ada di kantornya.
Padahal dia polisi lalu lintas. Siapa peduli?
Sebuah
mikrolet seenaknya saja berhenti menaikkan penumpang. Suryo cepat tanggap.
Segera dipacu motornya mendekati mikrolet itu. ”Heh, tahu nggak di sini
dilarang berhenti?” gertaknya.
”Sori
pak, tanggung nih, penumpangnya nyetop mendadak,” tukas sopir mikrolet. Dia
tampaknya tak melihat polisi ada di sekitar tempat itu.
***
Menjelang
Magrib, Suryo sampai di rumah. Sebuah rumah yang tergolong wah untuk ukuran
seorang sersan mayor. Halamannya luas, ditumbuhi pohon-pohon hijau kecil
dilengkapi tanaman bunga. Memang bukan murni hasil keringat Suryo, karena tanah
yang kini ditempatinya merupakan warisan dari ayahnya yang juga polisi.
Bangunan rumah terdiri dari dua lantai Lantainya marmer mengkilap, yang bisa
dipakai bercermin. Harum ruangan semerbak seantero rumah.
Suryo
punya tiga anak, dua laki-laki dan si bungsu perempuan. Anak pertamanya sudah
masuk Akademi Kepolisian di Semarang. Dulu, Suryo berjuang keras untuk bisa
masuk ke Akpol, tapi selalu gagal. Padahal, bapaknya sudah menempuh berbagai
cara untuk meloloskannya. Kini Suryo seperti dendam. Anak pertamanya sukses
masuk Akpol. Dia juga ingin anak keduanya bisa juga masuk sekolah calon perwira
polisi itu.
“Anak
kita sebentar lagi lulus SMU. Mau diterusin kemana ya?” tanya istri Suryo, sambil
menyiapkan meja makan.
”Ayah
sih maunya dia masuk Akademi Kepolisian di Semarang, mengikuti kakaknya,” kata
Suryo tegas.
Suryo
ingat bagaimana dia harus memaksa anak pertamanya masuk Akpol. Kini dia lebih
tenang karena anak keduanya, mau sukarela menjadi polisi. Profesi turun temurun
nenek moyang. Suryo lebih tenang lagi karena punya orang dalam, yang bisa
memuluskan langkah anaknya masuk sekolah polisi. ”Ha ha ha ha..,” Suryo kembali
tertawa riang.
Dia
membayangkan nanti anak-anaknya menjadi jenderal. Jenderal yang punya kuasa
luar biasa. Jangankan jenderal, seorang kolonel saja sudah begitu leluasa
berkuasa, punya anak buah segudang. Mau apa saja tinggal menyuruh anak buah. Dan
sersan mayor seperti Suryo seringkali menjadi kacung para kolonel atau para
perwira menengah lainnya. Suryo ingin membalaskan semua itu melalui
anak-anaknya.
***
Hari
itu cuaca mendung. Mendung seperti juga Sofyan yang sampai tengah hari,
penumpang atau biasa disebut sewa sangat seret.
”Pri,
payah hari ini..,.” kata Sofyan.
”Iya
nih, tumben ya. Biasanya walaupun mendung kayak gini, penumpang banyak,” timpal
Supri.
Mereka
akhirnya ngetem di dekat sebuah pertokoan. Di situ biasanya ramai. Tapi kedua
sopir itu tak tahu mereka sedang diperhatikan Suryo. Kali ini, Suryo tidak
menunggu dekat kios rokok, tempat ia biasa mencari korban. Ia nongkrong lebih jauh
ke dekat wartel, sekitar 100 meter dari kios rokok. Makanya, dua calon korban
langganannya, Sofyan melihat Suryo. Tetapi untunglah keduanya segera ngeloyor
menjalankan metromininya setelah beberapa penumpang terlihat kesal dan
mengumpat.
Di
hari lain, Sofyan dan Supri masih tetap menjadi langganan Suryo, polisi si
preman jalanan. Begitu juga sopir lain dengan trayek sama. Sudah akrab
sekaligus gedek dengan Suryo. Setiap ditilang, mereka selalu berkata dalam hati
”Nih gue kasih uang haram, gue nggak rela... semoga bisa menghapus dosa gue”.
Dan
Suryo tak tahu dan tak pernah mau tahu dengan perasaan serta doa para sopir
itu. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar