Cerpen Suara Merdeka, 24 Juni 2012 – oleh Kun Himalaya
Badrowi
hendak bunuh diri. Sudah berkali-kali dicobanya. Sekali, hendak diputusnya
kontrak kehidupan pada seutas tali. Sayangnya, dahan yang disangkanya liat tak
kuasa menahan tubuhnya. Dahan itu patah menjadi dua. Lain waktu Badrowi meminum
baygon.
Ketika cairan mematikan itu telah mulus melewati kerongkongannya, istrinya memergoki. Istrinya histeris dan berteriak-teriak macam orang gila. Sambil menangis istrinya menelepon Rumah Sakit. Tak berapa lama, raungan ambulans membelah malam. Supir ambulans yang gila kecepatan, berusaha mengejar nyawa Badrowi yang sudah sampai di leher.
Ketika cairan mematikan itu telah mulus melewati kerongkongannya, istrinya memergoki. Istrinya histeris dan berteriak-teriak macam orang gila. Sambil menangis istrinya menelepon Rumah Sakit. Tak berapa lama, raungan ambulans membelah malam. Supir ambulans yang gila kecepatan, berusaha mengejar nyawa Badrowi yang sudah sampai di leher.
Sayang
seribu sayang, Dokter terbaik di Rumah Sakit itu belum pulang meski malam telah
larut. Dokter yang berdedikasi itu sekuat tenaga bernegosiasi dengan Malaikat
Izrail memperebutkan nyawa Badrowi. Dokter itu berhasil. Badrowi muntah-muntah.
Semua cairan mematikan itu keluar sudah.
Badrowi
harus menerima kenyataan bahwa usahanya belum membuahkan hasil. Badrowi mulai
percaya nyawanya rangkap tujuh layaknya kucing. Nahasnya, Badrowi jeri melihat
darah yang mengucur. Apalagi bila darah itu keluar dari tubuhnya. Badrowi
takut. Maka, tak heran, usaha yang melibatkan benda tajam yang nyata bisa
membuat darahnya mengucur, amat sangat dihindari oleh Badrowi.
Akhir-akhir
ini Badrowi sibuk. Menonton berita kriminal di televisi dan membaca koran
menjadi jadwal rutin. Bukankah selalu ada berita tentang kehidupan yang
berakhir di tayangan televisi dan lembar koran? Badrowi butuh inspirasi.
Badrowi menghitung dalam hati: berapa kali sudah dicobanya usaha ini? Badrowi
menentramkan hati dan tidak berputus asa. Setidaknya, jika benar keajaiban
nyawa rangkap tujuh itu menempel padanya, Badrowi tinggal mencoba sekali lagi!
Tapi
itu kian sulit. Sungguh! Sekarang ini, setiap orang siaga. Istrinya,
anak-anaknya, kerabat istrinya yang bernama Bi Markonah itu, bahkan para
tetangganya. Semuanya waspada. Istrinya sudah tak mengizinkannya mengendarai
sepeda motor. Kuncinya sengaja disimpan rapat-rapat dan tak seorang pun yang
mau memberitahu di mana kunci itu disimpan. Bagi Badrowi itu memang masuk akal
dan bisa dimengerti.
Jalanan di Indonesia lebih kusut daripada benang basah yang ruwet. Semahir apa
pun pemakai jalan di Indonesia, sangat mudah tertimpa kecelakaan. Kalau tidak
menabrak ya ditabrak....
Yang
membuat Badrowi jengkel, orang-orang tidak memberinya kesempatan untuk
menyendiri. Begitu Badrowi masuk ke kamar mandi, keluarganya langsung heboh.
Bila dalam waktu lima menit Badrowi tidak keluar dari kamar mandi, mereka menggedor-gedor
pintu. Bi Markonah mengancam akan mendobrak pintu kalau pintunya tidak segera dibuka.
Semakin lama mereka seperti mata-mata!
Cih!
Tahu apa mereka? Badrowi memang ingin mati. Tapi, mati di kamar mandi? Itu
sungguh bukan pilihan bagi Badrowi. Kamar mandi itu tempat tinggal kecoak dan
Badrowi benci sekali binatang bernama kecoak.
Badrowi
menyadari bahwa kini dia mempunyai dua tantangan yaitu berusaha melepaskan diri
dari intaian mata-mata, dan terus mancari cara untuk memecat nyawanya agar tak
lagi menghuni raga. Badrowi memutuskan untuk menjadi lebih kreatif. Untuk itu,
Badrowi memasukkan menu menonton sinetron! Banyak sekali tips dan intrik yang
bisa Badrowi temukan dalam tayangan sinetron.
***
HARI
masih pagi. Seperti biasa, rumah itu tampak sibuk. Anaknya yang pertama
berteriak-teriak mencari kaus kaki, sebentar kemudian suaranya bungkam dan
terdengar raungan GL-Pro menjauh. Terdengar suara Bi Markonah menyuruh anak
kedua dan ketiganya sarapan. Istrinya, telah rapi dengan baju PNS, masuk ke
kamar dan meletakkan sepiring nasi goreng di atas meja.
“Dokter
Munawir akan datang menengok sampean, nanti jam 9,” kata istrinya pelan.
“Cih!
Psikiater sok tahu itu? Yang menyangka aku sakit jiwa?! Yang merasa sudah mampu
mengorek kebenaran dariku? Ahoi jauh panggang dari api. Uang saja yang
dikejarnya!” umpat Badrowi dalam hati. Badrowi melarikan pandang keluar
jendela. Badrowi enggan menatap istrinya.
“Aku
berangkat dulu, ya...,” pamit istrinya sambil mencium punggung tangannya
sekilas.”Jangan lupa nasi gorengnya dimakan....”
Badrowi
acuh. Istrinya berlalu dan menutup pintu pelan. Begitu Supra Fit istrinya
menjauhi garasi bersama celoteh riang anak kedua dan ketiga, Badrowi beringsut
ke jendela. “Yah, batu itu masih di sana. Tangga itu juga masih berada di
tempatnya,” batin Badrowi sambil tersenyum puas. Sejauh ini semua berjalan
sesuai rencana! Badrowi akan meluncur bebas dari atas pohon dan membenturkan
diri ke atas batu. Itu rencana hebat!
Badrowi
melirik arloji yang tergeletak di atas meja. Pukul tujuh lima belas menit.
Buru-buru Badrowi duduk di tepi tempat tidur. Diraihnya sepiring nasi goreng
yang sedari tadi menghuni meja. Badrowi bersikap sebiasa mungkin. Jangan
membuat curiga! Sebentar lagi, pasti Bi Minah akan membuka pintu untuk melihat
keadaannya. Tidak menghabiskan sarapan, akan menjadi masalah besar. Nah, benar saja!
Pintu kamar terkuak tanpa permisi. Wajah Bi Markonah yang tampak selalu sedih
seperti buldog itu melongok ke dalam kamar. Sedetik. Kemudian terdengar langkahnya
menjauh. Bi Markonah memang tak terlalu suka bicara pada Badrowi. Begitu juga sebaliknya.
Bi Markonah menganggap Badrowi itu sinting.
Badrowi
bersiul-siul. Terdengar pintu depan dibuka dan ditutup kembali. Bi Markonah akan
pergi berbelanja ke pasar. Biasanya Bi Markonah pergi selama satu jam. Dan
selama wanita itu pergi, Rokim, anak tetangga sebelah yang akan
memata-matainya. Badrowi menyibak korden kamar untuk melihat keluar. Dari
ambang jendela, Badrowi melihat Bi Markonah tengah berbicara kepada Rokim. Bi Markonah
menyerahkan selembar uang ke tangan Rokim yang langsung disambut gembira. Rokim
berlari riang menuju ke pintu rumah. Tuh, kan?
Terdengar
pintu dibuka dari luar.
Badrowi
segera menyambutnya. “Kamu sebaiknya nonton tv saja. Hari ini aku akan
berbaring di kamar....” usul Badrowi sambil mengulurkan remote ke tangan Rokim.
Rokim
kikuk. Dengan wajah takut-takut Rokim bertanya, “Maaf, Pak. Sebelum saya
menonton televisi seperti yang Bapak suruh, bolehkah saya masuk ke kamar Bapak
terlebih dahulu?”
“Untuk
apa?!” bentak Badrowi tidak suka.
“Mm...
mencari mainan saya, Pak. Sepertinya tertinggal di kamar Bapak kemarin...,”
Rokim berkata pelan dan sedikit gemetar. Rokim takut Badrowi akan menyakitinya.
Bagaimanapun, Badrowi tega menyakiti dirinya sendiri. Bukankah besar
kemungkinan Badrowi juga setega itu pada orang lain?
“Baiklah.
Tapi jangan lama-lama!” Badrowi bersungut-sungut. Hatinya sungguh tak senang.
Dengan
takut-takut Rokim masuk ke kamar Badrowi. Rokim memeriksa tiap sudut kamar, di bawah
tempat tidur, bawah meja dan almari, di bawah kasur. Semuanya. Tentu saja tidak
ada mainan yang dicarinya. Rokim mencari botol, gelas kaca, pisau atau benda
apa saja yang sekiranya diselundupkan Badrowi untuk melancarkan aksinya. Rokim
tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Rokim tersenyum puas sambil
melangkah keluar kamar.
“Lho,
mana mainanmu?” bentak Badrowi.
Rokim
plintat plintut. “Oh, saya baru ingat kalau mainan saya dipinjam teman....”
“Huh,
dasar lidah manusia!” umpat Badrowi sambil masuk ke dalam kamar dan menutup
pintunya.
Badrowi
mengintip melalui lubang kunci. Aman. Rokim pergi ke kamar mandi. Hanya
sebentar, setelah itu Rokim asyik menonton televisi. Badrowi hendak menyelinap
keluar lewat jendela. Tapi...oh...Badrowi merasa ingin buang air kecil. “Ah...
tak mengapa, ini kan buang air kecil yang terakhir...,” hibur Badrowi dalam
hati.
Ketika
Badrowi lewat, Rokim waspada. Rokim melirik jam dinding untuk memastikan
Badrowi tidak terlalu lama di kamar mandi. Pintu kamar mandi terbuka. Badrowi
segera melangkah masuk, tak disadarinya busa sabun tersebar di lantai. Badrowi
terpeleset, tubuhnya kehilangan keseimbangan.
“Aaaaaahhh!!!!”
Kepala Badrowi terbentur pinggiran bak. Darah mengucur. Badrowi jatuh
terjerembab. Tubuhnya terlentang di lantai kamar mandi. Badrowi berusaha
menggerakkan kepala, dan terlihat olehnya beberapa ekor kecoak berlari menjauh.
Lantai kamar mandi memerah darah, membawa Badrowi ke rasa sakit yang menggila
hingga gelap menghimpit!
***
AWALNYA,
hidup Badrowi sempurna. Istrinya cantik dan sudah diangkat menjadi PNS.
Istrinya seorang guru di sebuah SMP Negeri. Ketika SK turun dan mengharuskan
istrinya pindah ke Kota Semarang, Badrowi rela meninggalkan pekerjaannya.
Padahal saat itu posisi Badrowi di perusahaan itu sudah terbilang lumayan.
Ketika itu, anak pertama mereka baru berusia tiga tahun. Di kota baru, Badrowi
mencari pekerjaan. Namun, belum genap sebulan Badrowi bekerja, didapatinya sang
istri menangis. “Pak, janganlah bekerja dulu. Rumah dan anak-anak telantar kalau
kita berdua bekerja. Biarlah kita hidup dari gajiku dulu,” bujuk istrinya.
Badrowi
amat menyayangi istrinya. Apalagi istrinya tengah mengandung anak kedua.
Badrowi tak sanggup menolak keinginan sang istri. Maka, Badrowi mengalah dan
tinggal di rumah. Badrowi belajar memasak, mencuci, membereskan rumah, dan mengurus
anak. Ketika anak kedua lahir, Badrowi telah mahir. Segera saja, predikat Bapak
Teladan melekat padanya. Para tetangga yang menjulukinya. Tapi Badrowi tahu
pasti tabiat tetangganya. Di depan wajahnya orang-orang itu memuji, di belakang
punggungnya, mereka menyebut Badrowi banci.
Badrowi
mulai terusik. Dia merasa menjadi lelaki yang tidak sempurna. Lelaki yang bukan
lelaki. Lelaki yang tak sanggup menafkahi istri. Lelaki yang seperti benalu,
menggantungkan hidup dari gaji istri. Di dalam rumahnya tidak ada ibu rumah
tangga, yang ada adalah dirinya, bapak rumah tangga!
Hidup
Badrowi mulai limbung. Dan hidupnya hancur ketika didapatinya istrinya berubah.
Cinta istrinya tak lagi utuh. Tak lama berselang, istrinya hamil lagi. Badrowi
tak punya bukti, tapi Badrowi tahu kalau itu bukan benihnya. Akhirnya bayi
mungil berwajah Tionghoa itu lahir. Sejak itulah, Badrowi kehilangan semangat
hidup dan memvonis dirinya untuk
mati!
***
BADROWI
merasa tubuhnya seringan kapas. Sebentar kemudian, rasa berat seperti sebongkah
batu menghimpit kakinya, terus naik ke perut dan menghimpit ulu hati. Kepalanya
berdenyut hendak meledak. Napasnya panas. Sesuatu ditangkupkan menutup hidung
dan mulutnya. Sejenak rasa sejuk menerpa, tapi panas gurun dalam sekejap datang
kembali.
Badrowi
ingin sekali membuka mata, tapi seolah ada baja yang mengganjal matanya.
Bulir-bulir dingin menyusup pori-pori. Seleret cahaya putih berkelebatan.
“Dia
sadar... dia sadar... lihat! Matanya sedikit terbuka...,” seorang suster tak
sadar berteriak.
“Pak...
Pak... ini aku! Pak... sadar....” Itu suara istri Badrowi.
“Ini
kuasa Tuhan. Beliau telah empat minggu mengalami koma, tapi mampu bertahan...,”
timpal Dokter yang tergopoh datang.
Di
samping tempat tidur rumah sakit, istri Badrowi menangis tersedu-sedu.
Badrowi
mengerjap. Pelan, air matanya mengalir. Semua yang terjadi ini, sungguh di luar
rencana Badrowi. Badrowi memang ingin mati. Tapi Badrowi sama sekali ingin
melakukan usaha untuk mati di kamar mandi. Badrowi memang ingin mati. Tapi, bukannya
setengah mati seperti ini!
Badrowi
merasa menjadi pesakitan. Hidupnya mengambang di antara hidup dan mati. Tubuh Badrowi
lumpuh seluruhnya, hanya matanya saja yang
bisa digerakkan. Itu pun hanya membuka, menutup dan melirik. Hidup Badrowi
sepenuhnya bergantung pada peralatan medis.
“Pak...
maafkan aku, Pak...,” tangis istrinya pelan.
Dulu,
Badrowi hanya membisu bila istrinya berucap seperti itu. Badrowi mengunci hati.
Kata maaf di penjaranya rapat-rapat di dalam amarah. Dijaganya jangan sampai
keluar dari mulutnya. Kini Badrowi ingin menjawab, namun lidahnya seolah
terikat. Badrowi ingin mengatakan kalau hatinya telah memaafkan! Tapi...
Badrowi tak mampu bicara.
Dalam
keterasingannya dari dirinya sendiri, Badrowi terpaksa mengakui bahwa kuasa
Tuhan lebih berhasil daripada rencananya. Hatinya menyalahkannya kenapa dulu
tak memaafkan saja ketika istrinya berkali-kali minta maaf. Dulu hatinya beku
ketika istrinya berkali-kali menangis sambil bersimpuh di kakinya. Kini,
keadaan menjadi terbalik. Hati Badrowi telah lunak, tetapi tubuh dan lidahnya
yang kaku. Sekarang, jika nasi telah menjadi bubur seperti ini, semuanya
berduka. Dan hanya setan yang tertawa terpingkal-pingkal. Menyaksikan kebodohan
manusia mudah terjebak amarah dan merasa mampu menggenggam takdir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar