PERTAMA
kalinya, secara tak sengaja, ketika aku hendak mencuci celana kotormu, aku
menemukan sebuah koin berkerak di saku celanamu. Untuk sebuah koin karatan seperti
itu, tentu saja aku tak perlu meminta izinmu untuk mengalihkan hak
kepemilikannya. Itu hanya koin yang mungkin hendak kau berikan pada pengemis
lalu kau lupa (atau barangkali, malah kau yang mengemis koin itu dari
seseorang?). Maka kualihkan saja tempat koin itu, dari saku celanamu ke saku
dasterku. Lumayan, buat kerokan.
Pada
kesempatan berikutnya—waktu itu aku memang sengaja meraba-raba—sebelum aku
merendam celanamu dengan air sabun, dan di sana, di saku celanamu, aku temukan
lagi, kali ini selembar puisi. Awalnya, aku mengira bahwa benda itu adalah
selembar uang kertas yang terlupa, eh, ternyata selembar puisi. Tiba-tiba
pikiranku melayang. Menebak-nebak sesuatu yang mungkin ada hubungannya dengan
selembar puisi cinta itu.
“Kau
bisa menjelaskan ini!?” Kataku ketus, sambil melemparkan selembar puisi itu ke
arahmu. Kau hanya terkekeh.
“Cemburu?”
kau malah menggoda.
Aku
melengos.
Kau
buru-buru mengejarku, “Itu puisi, kutulis sendiri, kukarang sendiri. Untuk
siapa lagi kalau bukan untuk istriku tercinta.”
“Kau
pikir aku tak hapal tulisanmu?”
“Mau
dicek? Itu benar-benar tulisanku.”
Aku
mulai jinak. Tapi aku tidak percaya begitu saja, “memangnya sejak kapan kau
bisa bikin puisi?”
“Bikin!!!
Puisi itu diciptakan, pake hati, bukan dibikin. Bikin!!! Kue kali.”
Aku
meneruskan cucianku. Berjibaku dengan busa dan rasa gatal di sela jemari
kakiku. Kau berdiri dan bersandar pada kusen pintu kamar mandi. Kau
mengawasiku. Aku yakin sekali. Kalau sudah berdiri di situ. Ceritamu akan
berkembang biak sampai kemana-mana.
“Begini
lho…” kau mulai menjelaskan, “tak pikir gak ada salahnya memanfaatkan waktu
luang. Seharian tadi angkotku sepi penumpang. Mungkin karena hujan. Nah, dari
pada bengong aku nulis puisi saja. Tak pikir-pikir, menikah denganmu selama
hampir empat tahun, dan belum juga
dikaruniai momongan, belum pernah aku menggombalimu dengan puisi.”
“Apa
pula kau singgung tentang momongan. Lagian siapa yang mau makan puisi.”
“Puisi
itu buat hiburan bukan buat dimakan. Baca saja! Pasti kau suka.”
Aku
diam saja.
“Baik,
baik. Aku saja yang bacakan. Simak ya!”
***
Beberapa
kali, ketika mencuci pakaian kotormu, termasuk celana. Aku sengaja tidak
menyentuh sakunya. Aku merasakan sesuatu yang begitu nyaman. Seperti sedang
berbaring dalam pelukanmu. Aku seperti terbius. Kau mendekapku sayang. Lalu
cerita-cerita seperti menghambur dari
mulutmu.
Kau tahu, bayak sekali cerita kurekam dari
terminal, beberapa hari lalu aku menjumpai sepasang suami istri yang sudah
renta, yang kedua-duanya cacat. Sang istri lumpuh, dan sang suami buta. Seperti
cerita-cerita lawas yang acap kita dengar, ya? Tentang dua orang sahabat, yang
satu lumpuh dan yang satu buta. Tapi ini lain, ini nyata, dan mereka suami
istri. Kau tahu, mereka begitu mesra. Untuk terus hidup, mereka berjibaku saling
melengkapi kekurangan mereka. Sang istri yang lumpuh sebagai mata, dan sang
suami yang buta menjadi kaki.
Mereka berjalan menyusuri trotoar-trotoar,
mengitari bus-bus kota yang tengah berhenti. Sang istri nembang, dan sang suami
membawa erat-erat mangkuk kecil yang di dalamnya dialasi sobekan koran. Mereka
terus berjalan dan nembang, hingga receh mereka penuh. Setelah dirasa cukup,
mereka selalu beristirahat di bawah pohon cerry, di sudut terminal, di dekat
gerobak sampah. Mereka menghitung receh satu persatu dengan aura yang masih
sama mesranya. Setelah usai menghitung hasil kerjanya, mereka seperti bersujud.
Sang isteri mengusap peluh di kening suami, dengan kebaya lusuhnya yang
kebesaran. Sang Suami tampak tersenyum. Dan, entah mengapa, tiba-tiba aku iri
pada mereka.
***
Aku
tersadar tiba-tiba. Dan kamar masih sepi. Cuma ada aku, seorang diri. Aku masih
bergidik dengan cerita yang baru saja masuk ke kepalaku. Dan entah kenapa,
tiba-tiba aku sangat merindukanmu. Aku cemas menunggumu pulang. Aku melirik jam
dinding. Seperempat jam lagi kau datang. Masih cukup waktu untuk menyiapkan
makan siang.
***
Celana
demi celana(mu) telah kujelajahi. Cerita demi cerita telah masuk ke benakku seperti
mimpi. Kini tak ada lagi uang receh kesasar dalam saku celanamu, tak pula
cincin berkerak, apalagi selembar puisi. Semenjak cerita-cerita itu mengisi
kepalaku, yang kudapat dari saku celanamu hanya satu hal: rasa nyaman. Nyaman
bisa melayanimu sepenuh hati. Mencucikan pakaianmu, khususnya celana. Memasak
masakan yang kau sukai.
Kau
mau mendengar sebuah cerita lagi? Ini juga kisah tentang sepasang suami istri. Kisah
yang sederhana. Suami istri ini hidup sederhana, tak pernah ada yang berlimpah dalam
hidup mereka kecuali kelakar dan cinta. Sang suami pekerjaannya cuma sopir angkot.
Seperti pekerjaanku, ya? Dan sang istri, cukup bekerja di rumah, menunggu suami.
Meski mereka hidup sederhana, tetapi hidup mereka penuh dengan kejutan-kejutan.
Sang suami, selalu memberi kejutan pada istrinya. Bukan uang atau perhiasan, tapi
sesuatu yang ia taruh dengan sengaja dalam saku celananya.
Aku
terperanjat ketika mendengar suara pintu depan diketuk-ketuk. Aku ling-lung,
masih mendekap celanamu. Aku berdiri. Bergegas membuka pintu. Kau tampak
tersenyum-senyum ketika melihatku.
“Kenapa
celanaku kau bawa-bawa?” katamu mengejek.
Aku
gelagapan tak tahu harus menjawab apa. Tapi, tiba-tiba kepalaku terasa pening.
Perutku terasa mual.
“Kamu
kenapa?” tanyamu khawatir.
“Nggak
tahu, tiba-tiba kepalaku pening. Mau muntah.”
“Istirahat
saja…” kau menuntunku ke dalam. Aku sempat muntah beberapa kali. Tapi anehnya,
kau tampak senang melihatku gelagapan. Wajahmu tampak sumringah.
Aku
merebahkan diri. Celanamu masih utuh dalam dekapanku. Sambil berbaring, aku
bertanya-tanya, kenapa kau malah senang melihatku menderita, muntah-muntah? Apa
ada kejutan baru? Aku kembali merogoh saku celanamu dan kudekap erat-erat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar