28/06/14

Cerpen : Saku Celana

PERTAMA kalinya, secara tak sengaja, ketika aku hendak mencuci celana kotormu, aku menemukan sebuah koin berkerak di saku celanamu. Untuk sebuah koin karatan seperti itu, tentu saja aku tak perlu meminta izinmu untuk mengalihkan hak kepemilikannya. Itu hanya koin yang mungkin hendak kau berikan pada pengemis lalu kau lupa (atau barangkali, malah kau yang mengemis koin itu dari seseorang?). Maka kualihkan saja tempat koin itu, dari saku celanamu ke saku dasterku. Lumayan, buat kerokan.
Pada kesempatan berikutnya—waktu itu aku memang sengaja meraba-raba—sebelum aku merendam celanamu dengan air sabun, dan di sana, di saku celanamu, aku temukan lagi, kali ini selembar puisi. Awalnya, aku mengira bahwa benda itu adalah selembar uang kertas yang terlupa, eh, ternyata selembar puisi. Tiba-tiba pikiranku melayang. Menebak-nebak sesuatu yang mungkin ada hubungannya dengan selembar puisi cinta itu.
“Kau bisa menjelaskan ini!?” Kataku ketus, sambil melemparkan selembar puisi itu ke arahmu. Kau hanya terkekeh.
“Cemburu?” kau malah menggoda.
Aku melengos.
Kau buru-buru mengejarku, “Itu puisi, kutulis sendiri, kukarang sendiri. Untuk siapa lagi kalau bukan untuk istriku tercinta.”
“Kau pikir aku tak hapal tulisanmu?”
“Mau dicek? Itu benar-benar tulisanku.”
Aku mulai jinak. Tapi aku tidak percaya begitu saja, “memangnya sejak kapan kau bisa bikin puisi?”
“Bikin!!! Puisi itu diciptakan, pake hati, bukan dibikin. Bikin!!! Kue kali.”
Aku meneruskan cucianku. Berjibaku dengan busa dan rasa gatal di sela jemari kakiku. Kau berdiri dan bersandar pada kusen pintu kamar mandi. Kau mengawasiku. Aku yakin sekali. Kalau sudah berdiri di situ. Ceritamu akan berkembang biak sampai kemana-mana.
“Begini lho…” kau mulai menjelaskan, “tak pikir gak ada salahnya memanfaatkan waktu luang. Seharian tadi angkotku sepi penumpang. Mungkin karena hujan. Nah, dari pada bengong aku nulis puisi saja. Tak pikir-pikir, menikah denganmu selama hampir empat tahun, dan belum juga dikaruniai momongan, belum pernah aku menggombalimu dengan puisi.”
“Apa pula kau singgung tentang momongan. Lagian siapa yang mau makan puisi.”
“Puisi itu buat hiburan bukan buat dimakan. Baca saja! Pasti kau suka.”
Aku diam saja.
“Baik, baik. Aku saja yang bacakan. Simak ya!”
***
Beberapa kali, ketika mencuci pakaian kotormu, termasuk celana. Aku sengaja tidak menyentuh sakunya. Aku merasakan sesuatu yang begitu nyaman. Seperti sedang berbaring dalam pelukanmu. Aku seperti terbius. Kau mendekapku sayang. Lalu cerita-cerita seperti menghambur dari mulutmu.
Kau tahu, bayak sekali cerita kurekam dari terminal, beberapa hari lalu aku menjumpai sepasang suami istri yang sudah renta, yang kedua-duanya cacat. Sang istri lumpuh, dan sang suami buta. Seperti cerita-cerita lawas yang acap kita dengar, ya? Tentang dua orang sahabat, yang satu lumpuh dan yang satu buta. Tapi ini lain, ini nyata, dan mereka suami istri. Kau tahu, mereka begitu mesra. Untuk terus hidup, mereka berjibaku saling melengkapi kekurangan mereka. Sang istri yang lumpuh sebagai mata, dan sang suami yang buta menjadi kaki.
Mereka berjalan menyusuri trotoar-trotoar, mengitari bus-bus kota yang tengah berhenti. Sang istri nembang, dan sang suami membawa erat-erat mangkuk kecil yang di dalamnya dialasi sobekan koran. Mereka terus berjalan dan nembang, hingga receh mereka penuh. Setelah dirasa cukup, mereka selalu beristirahat di bawah pohon cerry, di sudut terminal, di dekat gerobak sampah. Mereka menghitung receh satu persatu dengan aura yang masih sama mesranya. Setelah usai menghitung hasil kerjanya, mereka seperti bersujud. Sang isteri mengusap peluh di kening suami, dengan kebaya lusuhnya yang kebesaran. Sang Suami tampak tersenyum. Dan, entah mengapa, tiba-tiba aku iri pada mereka.
***
Aku tersadar tiba-tiba. Dan kamar masih sepi. Cuma ada aku, seorang diri. Aku masih bergidik dengan cerita yang baru saja masuk ke kepalaku. Dan entah kenapa, tiba-tiba aku sangat merindukanmu. Aku cemas menunggumu pulang. Aku melirik jam dinding. Seperempat jam lagi kau datang. Masih cukup waktu untuk menyiapkan makan siang.
***
Celana demi celana(mu) telah kujelajahi. Cerita demi cerita telah masuk ke benakku seperti mimpi. Kini tak ada lagi uang receh kesasar dalam saku celanamu, tak pula cincin berkerak, apalagi selembar puisi. Semenjak cerita-cerita itu mengisi kepalaku, yang kudapat dari saku celanamu hanya satu hal: rasa nyaman. Nyaman bisa melayanimu sepenuh hati. Mencucikan pakaianmu, khususnya celana. Memasak masakan yang kau sukai.
Kau mau mendengar sebuah cerita lagi? Ini juga kisah tentang sepasang suami istri. Kisah yang sederhana. Suami istri ini hidup sederhana, tak pernah ada yang berlimpah dalam hidup mereka kecuali kelakar dan cinta. Sang suami pekerjaannya cuma sopir angkot. Seperti pekerjaanku, ya? Dan sang istri, cukup bekerja di rumah, menunggu suami. Meski mereka hidup sederhana, tetapi hidup mereka penuh dengan kejutan-kejutan. Sang suami, selalu memberi kejutan pada istrinya. Bukan uang atau perhiasan, tapi sesuatu yang ia taruh dengan sengaja dalam saku celananya.
Aku terperanjat ketika mendengar suara pintu depan diketuk-ketuk. Aku ling-lung, masih mendekap celanamu. Aku berdiri. Bergegas membuka pintu. Kau tampak tersenyum-senyum ketika melihatku.
“Kenapa celanaku kau bawa-bawa?” katamu mengejek.
Aku gelagapan tak tahu harus menjawab apa. Tapi, tiba-tiba kepalaku terasa pening. Perutku terasa mual.
“Kamu kenapa?” tanyamu khawatir.
“Nggak tahu, tiba-tiba kepalaku pening. Mau muntah.”
“Istirahat saja…” kau menuntunku ke dalam. Aku sempat muntah beberapa kali. Tapi anehnya, kau tampak senang melihatku gelagapan. Wajahmu tampak sumringah.
Aku merebahkan diri. Celanamu masih utuh dalam dekapanku. Sambil berbaring, aku bertanya-tanya, kenapa kau malah senang melihatku menderita, muntah-muntah? Apa ada kejutan baru? Aku kembali merogoh saku celanamu dan kudekap erat-erat.
Cerita demi cerita telah ia titipkan dalam saku celananya. Hingga ketika ia kehabisan bahan cerita, ia berinisiatif menceritakan kembali kisah mereka sendiri. Dalam kehidupan nyata, suami istri itu belum juga dikaruniai seorang putra, meski hampir empat tahun mereka berkeluarga. Tapi, dalam cerita yang sudah ia masukkan ke dalam saku celananya, cerita itu ia ubah. Tepat di usia empat tahun pernikahan mereka. Istrinya mengandung anak pertama.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar