16/06/15

PERBANDINGAN PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIS DAN PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN

TUGAS                       : MANAJEMEN INFORMASI KESEHATAN (MIK)
DOSEN                       : Prof. DR. H. Indar, SH, MH.
PERBANDINGAN PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIK DAN TINDAKAN KEDOKTERAN


OLEH
Hamsah
1303117


D-III REKAM MEDIS DAN INFORMASI KESEHATAN
STIKES PANAKKUKANG MAKASSAR
TAHUN AJARAN 2014/2015





LATAR BELAKANG
Peraturan menteri kesehatan mengatur tentang apa-apa yang berkaitan dengan hal-hal kesehatan, salah satunya mengatur tentang persetujuan tindakan medis . Tindakan medis dalam dunia kesehatan sangat penting bagi dokter maupun pasien atau keluarga pasien, persetujuan sebelum melakukan tindakan medis sangat diperlukan karena menyangkut resiko yang akan diterima oleh si pasien.
Mengenai persetujuan tindakan medis telah diatur di Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 585/Men.Kes/per/IX/1989 tentang persetujuan tindakan medis. Peraturan tersebut telah berlaku hingga munculnya peraturan baru tentang hal serupa yaitu Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang persetujuan tindakan kedokteran, yang kemudian membuat peraturan terdahulu yakni peraturan menteri kesehatan Nomor 585/Men.Kes/Per/IX/1989 dinyatakan tidak berlaku.
PERMENKES NO.585 TAHUN 1989 DAN PERMENKES NO.290 TAHUN 2008
Didalam pasal 1 (a) Permenkes Nomor 585 tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik menetapkan bahwa:
 “Persetujuan Tindakan Medik (informed consent ) adalah persetujuan yang diberikanoleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut”.
Sedangkan dalam Pasal 1 angka 1 PerMenKes Nomor 290 Tahun 2008:
”Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien”.
Dilihat dari kedua pengertian diatas, pengertian persetujuan tindakan kedokteran lebih terkhusus kepada tindakan yang akan dilakukan oleh dokter tidak seperti pengertian umum tentang tindakan medik yang hanya menjelaskan tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien.
Berlanjut kepada berbagai aturan persetujuan tindakan medik, berdasarkan PerMenKes Nomor 585 Tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik antara lain :
1.    Semua tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan(Pasal 2 ayat (1)).
2.    Persetujuan dapat diberikan secara tertulis maupun lisan (Pasal 2 ayat (2)).
3.    Persetujuan diberikan setelah pasien mendapat informasi yang adekuat tentang perlunyatindakan medik yang bersangkutan serta risiko yang dapat ditimbulkannya (Pasal 2 ayat (3)).
4.    Bagi tindakan medik yang mengandung risiko tinggi harus dengan persetujuan tertulisyang ditandatangani oleh yang hendak memberikan persetujuan (Pasal 3 ayat (1)). 
5.    Persetujuan lisan berlaku bagi tindakan medik yang tidak termasuk dalam tindakanmedik yang mengandung risiko tinggi (Pasal 3 ayat (2). 
6.    Informasi tentang tindakan medik harus diberikan oleh dokter, dengan informasi yang selengkap-lengkapnya, keculai bila dokter menilai bahwa informasi yang diberikan dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien atau pasien menolak diberikan informasi (Pasal 4 ayat (1) dan (2)).
7.    Dalam hal informasi tidak bisa diberikan kepada pasien maka dengan persetujuan pasien dokter dapat memberikan informasi tersebut kepada keluarga terdekat dengan didampingi seorang perawat/ paramedis sebagai saksi (Pasal 4 ayat (3)).
Aturan diatas juga tercantum didalam PerMenKes Nomor 290 tahun 2008, dan kemudian ada penambahan aturan yang tidak tercantum didalam PerMenKes Nomor 585 Tahun 1989, antara lain sebagai berikut :
1.    Keputusan untuk melakukan tindakan kedokteran
Dalam keadaan gawat darurat,untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran dan diputuskan oleh dokter atau dokter gigi dan dicatat didalam rekam medik serta wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasiensetelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat. ( Pasal 4 ayat (1), (2) dan (3).
2.    Pemberian persetujuan tindakan kedokteran tidak menghapuskan tanggung gugathukum dalam hal terbukti adanya kelalaian dalam melakukan tindakankedokteran yang mengakibatkan kerugian pada pasien ( Pasal 6 )
Tentang siapa yang berhak untuk memberikan persetujuan terhadap tindakan medik dokter, telah diatur dalam pasal 8 Permenkes No.585/1989, yakni:
1. Persetujuan diberikan oleh pasien dewasa yang berada dalam keadaan sadardan sehat mental
 2. Pasien dewasa sebagaimana yang dimaksud ayat (1) adalah yang telah berumur 21 tahun atau telah menikah.
 3. Bagi pasien dibawah umur 21 tahun dan tidak mempunyai orang tua atau orang
tuanya berhalangan hadir, persetujuan (Persetujuan Tindakan Medik) atau Penolakan TindakanMedik diberikan oleh mereka yang menurut urutan hak
sebagai berikut:
 a) Ayah/ibu adopsi
 b) Saudara-saudara kandung
 c) Induk semang
 Selanjutnya pada pasal 9 Permenkes No.585 tahun 1989, menyatakan:
 1. Bagi pasien dewasa yang berada dibawah pengampuan (curatele) persetujuan diberikan:
 a) Wali
  b) Curator
2. Bagi pasien dewasa yang menderita gangguan mental, Persetujuan Tindakan
Medik atau Penolakan Tindakan Medik diberikan oleh rnereka menurut urutan
hak sebagai berikut:
 a) Ayah/ibu kandung
 b) Wali yang sah
 c) Saudara-saudara kandung
 3.Bagi pasien dewasa yang telah menikah/orang tua , persetujuan atau penolakan tindakanmedik diberikan oleh mereka menurut urutan hal tersebut:
a) Suami/isteri
b) Ayah/ibu kandung
c) Anak-anak kandung
d) Saudara-saudara kandungAturan yang diatur dalam Pasal 8 dan 9 PerMenKes Nomor 585 Tahun 1989 tersebut kemudian dipertegas di dalam PerMenKes Nomor 290 tahun 2008 dalam pasal 12 dan 13 yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal 12
(1) Persetujuan diberikan oleh pasien yang kompeten, atau oleh wali, ataukeluarga terdekat atau pengampunya.
 (2) Persetujuan yang diberikan oleh pasien yang tidak kompeten atau diragukan kompetensinya tetap dianggap sah atau dapat dibatalkan oleh wali, keluarga terdekat atau pengampunya.
 Pasal 13
(1) Pasien dianggap kompeten berdasarkan usianya apabila:

a. Pasien dewasa, yaitu telah berusia
21(duapuluh satu) tahun atau telah/pernahmenikah.

 b. Pasien telah berusia 18 tahun, tidak termasuk anak berdasarkan peraturan

 perundang-undangan.

(2) Berdasarkan kesadarannya :

a. Pasien dianggap kompeten apabila pasien tersebut tidak terganggukesadaran
fisiknya, sehingga mampu berkomunikasi secara wajar danmampu membuat
keputusan secara bebas.

 b. Pasien dapat kehilangan kompetensinya untuk sementara waktuapabila
mengalami syok, nyeri yang sangat atau kelemahan lain akibat keadaan sakitnya.

(3) Berdasarkan kesehatan mentalnya:

a. Pasien dianggap kompeten apabila pasien tersebut tidak mengalami kemunduran
 perkembangan(retardasi mental) dan tidak mengalami penyakit mental yang membuatnya tidak mampu membuat keputusan secara bebas.

 b. Pasien dengan gangguan jiwa (mental) dapat dianggap kompeten, apabila dia masih mampu memahami informasi, mempercayainya,mempertahankannya, untuk
kemudian menggunakannya dalam membuatkeputusan yang bebas.

(4) Kompetensi pasien harus dinilai oleh dokter pada saat diperlukan persetujuannya dan apabila meragukan maka harus ditentukan oleh tim dokter yang kompeten.
Adapun tentang ketentuan pada situasi khusus hanya diatur dalam PerMenKes Nomor 290 Tahun 2008yakni dalam pasal 14 sampai pasal 17 yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal 14
(1) Salah satu dari orang tua atau wali pasien anak dapat memberikan persetujuan atas tindakan kedokteran yang akan dilakukan pada pasien anaktersebut demi kepentingan terbaiknya.
 (2) Penolakan tindakan kedokteran yang diberikan oleh orang tua atau wali pasien anak yang dapat mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang permanen(irreversibel) pada pasien anak tersebut dapat dibatalkan oleh pengadilan.

Pasal 15

(1) Seseorang dengan gangguan jiwa/mental yang mengakibatkannya tidakkompeten
dapat dimasukkan ke rumah sakit untuk dirawat inap tanpa persetujuan yang
 bersangkutan dalam rangka pengobatan gangguan jiwanya.

(2)Tindakan kedokteran yang akan diberikan kepada pasien yang dimaksud pada ayat (1)dapat diberikan dengan persetujuan keluarga terdekatnya

Pasal 16
 (1) Tindakan penghentian/penundaan bantuan hidup (withdrawing/withholdinglife support) pada seorang pasien harus mendapat persetujuan keluarga terdekat pasien.
 (2)Persetujuan penghentian/penundaan bantuan hidup oleh keluarga terdekat pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah keluarga mendapat penjelasan dari tim dokter yang bersangkutan.
 (3)Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diberikan secara tertulis.

Pasal17
Dalam hal tindakan kedokteran harus dilaksanakan sesuai dengan program pemerintah dimana tindakan medik tersebut untuk kepentingan masyarakat banyak, maka persetujuan tindakan kedokteran tidak diperlukan.
Dalam PerMenKes Nomor 290 Tahun 2009 juga mengatur tentang pembinaan dan pengawasan yang mana aturan ini tidak diatur dalam PerMenKes Nomor 585Tahun 1989, yakni sebagai berikut :

Pasal 20
 (1) Menteri, Dinas Kesehatan Propinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melakukan pembinaan dan pengawasan dengan melibatkan organisasi profesi terkait sesuai kewenangan masing-masing.

(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, melindungi masyarakat dan untuk kepastian hukum.

Pasal 21
Dalam rangka pembinaan dan pengawasan, setiap dokter atau dokter gigi atau tenagakesehatan lainnya yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam peraturan menteri ini dapat dikenakan sanksi administratif mulai dari teguran lisan, teguran tertulis sampai dengan pencabutan Surat Ijin Praktik.
Beberapa aturan yang hanya terdapat pada PerMenKes Nomor 290 Tahun 2008 tersebut semakin menegaskan bahwa PerMenKes Nomor 290 Tahun 2008 adalah bentuk peraturan baru yangmenyempurnakan peraturan terdahulu yakni PerMenKes Nomor 585 Tahun 1989.

1 komentar: